5 Hal yang Menjadi Alasan KPI Patut Dihapuskan

Tayangan yang bagus tak cuman menyajikan visual yang keren serta sangar, tapi juga mengandung muatan nilai-nilai serta juga layak atau taknya dikonsumsi umur yang tersegmentasi. Ribet lho menyajikan tayangan yang benar-benar memenuhi kriteria kayak ini. Nah, makanya Indonesia bikin KPI yang punya visi tuk memberikan tayangan terbaik yang sarat akan nilai. Tapi, apakah yang mereka lakukan selama ini sudah benar serta sesuai?

Akhir-akhir ini makin banyak bullying yang diberikan kepada KPI. Banyak yang menganggap jika hadirnya mereka justru tak berimbas apa-apa, selain malah mengurangi estetika tayangan gara-gara main sensor atau potong adegan yang tak pas.


Sebenarnya, Indonesia butuh atau tak sih dengan lembaga satu ini? Jawabannya dikembalikan para pemirsa. Namun, beberapa fakta berikut mungkin akan membikin berpikir sama kayak apa yang ada pada judul.

1. Sensornya Berlebihan
Tak semua scene yang tayang pada televisi sesuai serta baik tuk pemirsa. Makanya, hal-hal yang mempertontonkan bagian tubuh tertentu, senjata, rokok, serta segala sesuatu yang buruk pengaruhnya, langsung disensor oleh KPI. Bagus sih niatnya, namun lama-kelamaan hal tersebut makin absurd. KPI seolah tanpa analisis mendalam dulu, langsung main sensor semua yang dianggapnya tak patut dipertontonkan, padahal sebenarnya tak perlu sampai sebegitunya.

Terakhir ialah ketika mereka menyensor puting susu sapi yang sedang diperas. Apa sih maksud dari sensor ini? Sama sekali tak jelas. Apakah karena mengandung muatan negatif? Tentu tak. Entah apa pertimbangan mereka sampai bisa melakukan hal-hal ngawur serta absurd kayak itu. Lama-lama kita akan menyaksikan sebuah tayangan pada mana banyak bagian yang disensor dari pada yang tak. Akhirnya, televisi isinya sensor semua.

2. Sensor yang Harusnya tak
KPI mempunyai hak tuk menyensor serta memotong adegan tertentu yang dinilai bermuatan tak baik. Sayangnya, pada praktiknya mereka acap salah dalam melakukan hal ini. Seringnya, KPI menyensor apa yang tak patut disensor serta sebaliknya.

Contohnya ialah sensor karakter kartun. Memberikan sensor tuk serial kartun jelas kesannya kayak memaksakan tontonan dewasa kepada anak. Sangat aneh kelihatannya. Padahal kartun yak kartun, takkan pernah mengandung hal-hal negatif selain beberapa judul yang untungnya tak pernah ditayangkan pada Indonesia. Tanpa sensor film kartun aman tuk anak-anak, serta malah gara-gara disensor tersebut anak-anak justru penasaran akan hal-hal negatif.

3. Tak Sensor Apa yang Seharusnya
Berkebalikan dengan poin sebelumnya, KPI juga melakukan blunder dengan tak melakukan sensor tayangan yang harusnya kena sensor. Contoh paling nyatanya yak jelas sinetron. Tayang pada waktu prime time, sinetron sama sekali tak kena filter. Padahal berbahaya tuh dampaknya bagi anak-anak yang kemudian akan mencontohnya.

Bermesra-mesraan, peluk-pelukan, saling melontarkan kata sayang, hal-hal kayak ini berpengaruh buruk bagi anak. Gara-gara tontonan yang kayak ini akhirnya muncul berita-berita miris kayak anak SMP yang menyatakan cinta kepada adik kelasnya yang SD serta bikin heboh itu. KPI harusnya melakukan tindakan lanjut soal sinetron-sinetron kayak ini. Belum lagi adegan kekerasannya juga acap sekali lolos dari filter.

4. Apa yang Dilakukan KPI tak Benar-Benar Berdampak

Jujur saja, apa yang dilakukan KPI selama ini tak terlalu memberikan dampak. Lihat saja pergaulan anak-anak sekarang yang jauh dari kata aman. Padahal semua tayangan sudah dibenahi menurut versi KPI.

Jika dibandingkan dengan dulu, anak-anak tetap dalam relnya. Meskipun tayangan yang mereka lihat tak mengalami pemotongan adegan atau sensor-sensor. Ini jadi bukti yang sangat nyata jika eksistensi KPI justru tak memberikan banyak hal.

5. KPI Bikin Tontonan Kehilangan Estetikanya

Adegan berantem di-cut, bertarung dengan senjata-senjata di-cut serta sebagainya. Alhasil, yang kita tonton ialah sisanya. Memang aman sih, tapi tak ada hal-hal gregetnya. Padahal, apa yang dicari dalam sebuah tayangan justu ialah itu. KPI membuang hal-hal seru serta penting dalam tontonan.

Tentu saja hal ini sama sekali tak enak tuk dinikmati. Alih-alih terhibur ketika nonton televisi, yang ada justu kecewa. “Yah, adegan ini kok diputus begitu, nggak seru!” mungkin begitu kata para pemirsa. Makanya gara-gara hal ini penonton tayangan televisi lokal mulai berkurang drastis. Mereka cenderung memakai TV kabel yang dinilai bisa memberikan tayangan yang penuh estetika. Tak main potong-potong adegan seenaknya.

Sensor serta potong adegan sih boleh saja asal memang dalam koridor yang benar. Maksudnya yang benar-benar patut tuk disensor itulah yang harus diremang-remangkan. KPI selama ini kayaknya tak melakukan sebuah gebrakan yang bagus. Kalau berkaca dari masa lalu, kayaknya apa yang mereka lakukan justru berakibat mundurnya moral pemirsanya, khususnya anak-anak.

Comments

Post a Comment